YAH, KENAPA HARUS MASUK SINI... BUANG BUANG WAKTU AJA
Februari 24, 2009

Kiamat 2012 ? (part-2)

Pakar, “MANTEL  MAGNET  BUMI BOCOR"

Fransisco, Magnetosphere, yang melindung Bumi, didapati memiliki dua lubang besar hingga memungkinkan gelombang ‘angin’ matahari, yang menimbulkan gangguan, masuk, demikian keterangan yang dikemukakan sejumlah ilmuwan, Rabu (17/11).

Memahami bagaimana lubang itu terbentuk akan membantu para ilmuwan untuk dapat meramalkan secara lebih baik terjadinya badai elektrik yang mengakibatkan terputusnya pasokan listrik dan “aurora”, kegiatan yang akan mencapai puncaknya tahun 2012 –saat bintik pada matahari mencapai tingkat maksimal, kata mereka.

Beberapa ilmuwan dalam pertemuan American Geophysical Union di San Francisco mengatakan, mereka telah keliru mengenai bagaimana partikel matahari yang mengakibatkan badai memasuki magnetosphere Bumi.

Magnetosphere adalah gelembung magnetik yang mengelilingi Bumi dan melindungi manusia dari angin matahari.

twelveplanetsPara ilmuwan pernah berpendapat bahwa partikel tersebut masuk ketika medan magnet matahari terkumpul di seberang medan magnet Bumi. Namun beberapa temuan yang disajikan pada pertemuan itu memperlihatkan bahwa matahari memasuki medan magnet Bumi ketika partikel itu terkumpul di arah yang sama dengan medan magnet matahari.

Proses penghimpunan tersebut mengakibatkan kedua medan magnet berhubungan dan membuat lubang di medan magnet Bumi di atas kedua kutubnya.

“Apa yang kami amati ialah jebolnya bendungan,” kata Jimmy Raeder, ahli ilmu fisika di University of New Hampshire, sebagaimana dilaporkan wartawan Reuters Clare Baldwin. “Ini benar-benar membuat kami terkejut.”

Juni 2007, lima pesawat peneliti antariksa NASA, THEMIS, terbang melewati salah satu lubang tepat saat lubang itu terbuka. Alat sensor mencatat arus partikel angin matahari yang mengalir memasuki magnetosphere, kata Raeder.

“Lubang tersebut sangat besar –empat kali lebih lebar dari Bumi,” kata Raeder. “Jenis arus seperti ini adalah susunan magnet yang lebih besar daripada apa yang kami duga sebelumnya.”

Kebanyakan partikel itu dibelokkan kembali ke antariksa, tapi sebagian berputar di magnetosphere, memperoleh tenaga, dan mengakibatkan badai elektrik yang menyulut padamnya pasokan listrik, menimbulkan gangguan pada pesawat yang terbang di atas kutub, dan dapat merusak satelit di orbit “geosynchronous”.

Orbit “geosynchronous” adalah orbit di sekitar Bumi dengan masa orbit yang menyamai masa rotasi Bumi. “Ada resiko yang lebih besar karena terdapat lebih banyak bahan itu di antariksa sekarang,” kata Raeder.

Para ilmuwan mengatakan, kebanyakan badai matahari terjadi pada siang hari. Lingkaran kegiatan 11tahun itu berada pada tingkat minimalnya sekarang dan badai elektrik akan mencapai puncaknya tahun 2012. (Ant)

badai-matahari-20121

Artikel terkait lainnya :

Konsultasi Eramuslim : Tentang Kiamat 2012

Kompas : Isu Kiamat 2012 yang meresahkan

Analisa : Mantel Magnet Bumi bocor

NASA Claims Polar Shift Due In 2012

Solar storm warning from NASA

Melt Study Says Arctic Ocean Could Be Ice-Free by 2012

Februari 22, 2009

PostHeaderIcon 2009, Acer Target Jual 10 Juta Netbook

Komputer Jinjing
2009, Acer Target Jual 10 Juta Netbook
Tahun ini, penjualan netbook global diperkirakan mencapai 25 sampai 30 juta unit.
Minggu, 22 Februari 2009, 06:59 WIB
Muhammad Firman
Acer Aspire One (slashgear.com)

VIVAnews - Menurut informasi yang disebutkan oleh sumber dari AcerGroup, perusahaan pembuat PC asal Taiwan itu memasang target menjual 10 juta unit netbook di tahun 2009. Juru bicara dari perusahaan itu juga tidak menyembunyikan fakta bahwa Acer sangat tertarik untuk mendongkrak lebih lanjut penjualan komputer jinjing murahnya. Selain itu, Acer juga akan meningkatkan kemampuan mesin buatannya untuk menarik pengguna baru.

Seperti VIVAnews kutip dari Xbitlabs, 22 Februari 2009, Scott Lin, General Manager of Acer Taiwan menyatakan bahwa perusahaannya berencana untuk menjajaki pasar netbook berukuran 10,1 inci di tahun 2009 ini. Langkah itu diambil setelah menyaksikan penjualan netbook pertamanya yakni Acer One 8,9 inci menembus 5 juta unit dalam waktu hanya 6 bulan.

“Model 10,1 inci diperkirakan akan menguasai 70% pasar netbook PC secara total dan akan menjadi jajaran produk mainstream tahun ini,” kata Lin.

Penjualan netbook secara global sendiri diperkirakan mencapai 25 sampai 30 juta unit di tahun ini. Menurut analis pada Taiwan Economic News, Acer diperkirakan akan mengontribusikan sekitar 12 sampai 15 juta unit. Di samping itu, netbook PC akan menjadi produk pendorong pertumbuhan penjualan komputer secara keseluruhan di tahun 2009.

Februari 14, 2009

PostHeaderIcon Letusan Krakatau

Lebih Hebat dari Bom Atom

Posted by oedien on Saturday Oct 11, 2008 Under tahukah kamu???

*Tanggal 27 Agustus kemarin genap sudah 123 tahun letusan dahsyat Krakatau
yang
sempat menggoncangkan seluruh dunia. Pada tanggal 27 Agustus 1883,
bertepatan dengan hari Minggu, dentuman pada pukul 10.02 terdengar di
seluruh wilayah Nusantara, bahkan sampai ke Singapura, Australia,
Filipina,
dan Jepang. Bencana yang merupakan salah satu letusan terhebat di dunia
itu
sempat merenggut sekitar 36.500 jiwa manusia.

Kegiatan dimulai dengan letusan pada tanggal 20 Mei 1883, waktu kawah
Perbuatan memuntahkan abu gunung api dan uap air sampai ketinggian 11
km ke
udara. Letusan ini walaupun terdengar sampai lebih dari 350 km (sampai
Palembang), tidak sampai menimbulkan korban jiwa.

Pada letusan tanggal 27 Agustus itu bebatuan disemburkan setinggi
55.000 m
dan gelombang pasang (Tsunami) yang ditimbulkan menyapu bersih 163
desa.
Abunya mencapai jarak 5.330 km sepuluh hari kemudian. Kekuatan ledakan
Krakatau ini diperkirakan 26 kali lebih besar dari ledakan bom hidrogen
terkuat dalam percobaan.

*Dikira Meriam Apel*
Seorang pengamat di rumahnya di Bogor, pada tanggal 26 Agustus pukul
satu
siang mendengar suara gemuruh yang tadinya dikira suara guntur di
tempat
jauh. Lewat pukul setengah tiga siang mulai terdengar letupan pendek,
sehingga ia mulai yakin bahwa kegaduhan itu berasal dari kegiatan
Krakatau,
lebih-lebih sebab suara berasal dari arah barat laut-barat. Di Batavia
gemuruh itu juga dapat didengar, demikian pula di Anyer. Di serang dan
Bandung suara-suara itu mulai terdengar pukul tiga.

Seorang bintara Belanda yang ditempatkan di Batavia mengisahkan
pengalaman
pribadinya. Seperti banyak orang lainnya ia mengira bahwa dunia akan
kiamat
saat itu.

“Tanggal 26 Agustus itu bertepatan dengan hari Minggu. Sebagai sersan
pada
batalyon ke-IX di Weltevreden (Jakarta Pusat) hari itu saya
diperintahkan
bertugas di penjagaan utama di Lapangan Singa. Cuaca terasa sangat
menekan.
Langit pekat berawan mendung. Waktu hujan mulai menghambur, saya
terheran-heran bahwa di samping air juga jatuh butiran-butiran es.”

“Sekitar pukul dua siang terdengar suara gemuruh dari arah barat.
Tampaknya
seperti ada badai hujan, tetapi diselingi dengan letupan-letupan,
sehingga
orangpun tahu bahwa itu bukan badai halilintar biasa.”

“Di meja redaksi koran Java Bode orang segera ingat pada gunung
Krakatau
yang sudah sejak beberapa bulan menunjukkan kegiatan setelah
beristirahat
selama dua abad. Mereka mengirim kawat kepada koresponden di Anyer,
sebuah
pelabuhan kecil di tepi Selat Sunda, tempat orang bisa menatap sosok
Krakatau dengan jelas pada cuaca cerah. Jawabnya tiba dengan cepat: ‘Di
sini
begitu gelap, sampai tak bisa melihat tangan sendiri.’ Inilah berita
terakhir yang dikirimkan dari Anyer…”

“Pukul lima sore gemuruh itu makin menghebat, tapi tidak terlihat
kilat.
Letusan susul-menyusul lebih kerap, seperti tembakan meriam berat. Dari
Lapangan Raja (Merdeka, Red.) dan Lapangan Singa (Banteng) terlihat
kilatan-kilatan seperti halilintar di ufuk barat, bukan dari atas ke
bawah,
tetapi dari bawah ke atas. Waktu hari berangsur gelap, di kaki langit
sebelah barat masih terlihat pijaran cahaya.”

“Sudah menjadi kebiasaan bahwa tiap hari pukul delapan tepat di benteng
(Frederik Hendrik, sekarang Mesjid Istiqlal) ditembakkan meriam sebagai
isyarat upacara, disusul dengan bunyi terompet yang mewajibkan semua
prajurit masuk tangsi. Para penabuh genderang dan peniup terompet
batalyon
itu sudah siap pada pukul delapan kurang seperempat. Mereka masih
merokok
santai sebelum mereka berbaris untuk memberikan isyarat itu. Tiba-tiba
terdengar tembakan meriam menggelegar, jauh lebih dini daripada
biasanya.
Mereka segera berkumpul membentuk barisan dan setelah terompet
dibunyikan,
mereka berbaris sambil membunyikan genderang dan meniup terompet. Baru
saja
mereka mencapai asrama ketika meriam yang sebenarnya menggelegar dari
dalam
benteng. Gunung Krakatau ternyata mengecoh mereka!”

*Batavia** Jadi Dingin*
“Sementara itu ‘penembakan’ berlangsung terus. Kadang-kadang bunyinya
seperti tembakan salvo beruntun, kilatan-kilatan menyambar-nyambar ke
langit. Semua orang tercekam ketakutan. Tiada seorangpun percaya bahwa
ada
badai mengamuk jauh di sana. Hampir tidak ada orang yang berani tidur
malam
itu. Banyak yang berkumpul di halaman rumah mereka sambil mengarahkan
pandangan mereka ke arah barat dan memperbincangkan
kemungkinan-kemungkinan
yang menyebabkan gejala alam yang aneh itu. Hanya anak negeri yang tak
ragu-ragu: ‘Ada gunung pecah,’ kata mereka.”

“Menjelang tengah malam tiba perwira piket, Letnan Koehler. Ia
mengatakan
kepada saya bahwa seluruh kota sedang dalam keadaan panik. Penduduk
asli
berkumpul di masijid-masjid untuk bersembahyang. Penduduk Belanda tetap
terjaga di rumah masing-masing atau pergi ke rumah bola Concordia atau
Harmonie untuk saling mencari dukungan dari sesamanya.”

“Menjelang pukul dua pagi rentetan letusan bak tembakan cepat artileri
itu
mencapai puncaknya. Rumah-rumah batu bergetar dan jendela-jendela
bergemerincing. Gelas lampu penerangan jalan jatuh dan bertebaran di
tanah,
kaca etalase toko pecah, penerangan gas di banyak rumah padam. Sesudah
itu
ledakan-ledakan mereda, namun dari arah barat masih terdegar suara
gemuruh.”

“Kemudian saya merasakan bahwa udara makin menjadi dingin. Dalam
beberapa
jam saja suhu udara telah menurun sedemikian rupa, sampai saya gemetar
kedinginan di pos jaga. Belum pernah di Batavia udara sedingin itu.
Waktu
saya melihat keluar ternyata seluruh kota diliputi oleh kabut tebal.
Penerangan jalan di seberang Lapangan Singa tak dapat saya lihat
lagi,meskipun saya mendengar dari rekan lain bahwa lampu-lampu masih
menyala. Tak lama kemudian ternyata kabut itu bukan kabut biasa,
melainkan
hujan abu, yang jatuh tak lama setelah lewat tengah malam - mula-mula
jarang-jarang, tetapi makin lama makin deras, sehingga segalanya
terselimuti
oleh kabut abu yang tebal.”

“Pada pukul enam pagi, sesuai peraturan, semua lampu harus dipadamkan,
tetapi matahari tidak terbit! Baru sekitar pukul tujuh nampaknya fajar
seperti akan menyingsing, tetapi hari itu tak akan menjadi terang. Hawa
makin menjadi dingin, sehingga saya memerintahkan anak buah saya untuk
mengenakan jas hujan mereka. Sementara itu abu turun dengan tiada
putus-putusnya. Abu itu ke mana-mana, bangsal jaga juga dilapisi oleh
serbuk
halus yang berwarna kelabu keputih-putihan. Prajurit jaga yang saya
lihat
dari jendela sedang mondar-mandir, nampak seperti boneka salju kelabu
yang
bergerak secara mekanis.”

“Sekitar pukul sembilan pagi ledakan-ledakan dan guruh makin bertambah.
Pada
pukul sepuluh hari gelap seperti malam. Lampu-lampu gas dinyalakan
kembali.
Lapisan abu setebal 15 mm menutupi segala yang ada. Jalan-jalan sunyi
senyap, tak ada yang berani menampakkan diri. Saya merasa seorang diri
di
dunia, di dunia yang tak lama lagi bakal runtuh!”

“Pada pukul 10.40 akhirnya tiba telegram dari Serang, yang isinya
memuat
sedikit keterangan mengenai penyebab gejala-gejala alam yang mengerikan
itu.
Kawat itu berbunyi: ‘Kemarin petang Krakatau bekerja. Bisa didengarkan
di
sini. Semalam suntuk cahayanya terlihat jelas. Sejak pukul sebelas
ledakan-ledakan makin hebat dan tak terputus-putus. Setelah hujan abu
deras
pagi ini matahari tak tampak, gelapnya seperti pukul setengah tujuh
malam.
Merak dimusnahkan gelombang pasang. Sekarang di sini sedang hujan
kerikil.
Tanpa payung kuat tak ada yang berani keluar.’”

“Lewat pukul duabelas, ketika di Batavia masih gelap gulita dan sangat
dingin, tersiar berita kawat dari pelabuhan Pasar Ikan dan Tanjung
Priok.
Sebuah gelombang pasang telah membanjiri kota bagian bawah. Permukaan
air
dua meter di atas garis garis normal. Kapal uap Prinses Wilhelmina
dicampakkan ke pangkalan, seperti juga kapal Tjiliwoeng yang cerobong
asapnya merusak atap kantor pabean. Sejumlah kapal motor dan perahu
terdampar acak-acakan di Pelabuhan Pasar Ikan, berlumuran lumpur dan
abu
tebal. Pengungsi mulai mengalir sepanjang jalan raya dengan membawa
harta
benda yang bisa dijinjing ke arah Weltevreden yang lebih tinggi
letaknya.
Pada pukul dua dan empat sore datang lagi gelombang pasang, tetapi kali
ini
kurang tinggi dibandingkan yang pertama.”

“Di sebelah barat kini menjadi tenang dan kelam makin berkurang,
sehingga
matahari mulai nampak sebagai bercak merah kotor pada langit yang
kelabu.”

“Pada pukul lima petang saya diganti dan menerima perintah untuk segera
menyiapkan suatu pasukan yang akan diberangkatkana ke daerah yang
terkena
musibah di Sumatra Selatan. Pada saat itu di Batavia tidak seorangpun
tahu
dengan tepat apa yang sebenarnya terjadi di sebelah barat. Semua
hubungan
telegram dengan daerah yang terlanda malapetaka terputus.”

*Serang Sunyi Mencekam*
Kalau di Jakarta, air pasang itu tak mengambil korban terlalu besar,
tapi di
daerah pantai sebelah barat Jawa Barat yang lebih dekat dengan gunung
yang
sedang murka itu, akibatnya sangat mengerikan. Di Tangerang, pantai
utaranya
digenangi sampai sejauh satu hingga satu setengah km dengan meminta
korban
manusia cukup besar. Sembilan buah desa pantai musnah. Korban di daerah
ini
tercatat 1.794 orang penduduk asli dan 546 Cina dan Timur Asing
lainnya.

Di Serang suara gemuruh mulai terdengar pada pukul 3 siang, hari
Minggu.
Malamnya terus-menerus tercium bau belerang dan guruh serta kilat
terlihat
dari arah Krakatau. Hari Seninnya langit di sebelah barat berwarna
kelabu,
lalu hujan abu turun tanpa hentinya. Pukul setengah sebelas hari mulai
kelam, dan makin menggelap, sehingga hampir tak terlihat apa-apa. Lewat
pukul sebelas datang kawat dari Serang bahwa telah terjadi hujan
kerikil
batu apung; tak lama kemudian hubungan telegram dengan Jakarta
terputus.
Setelah hujan kerikil menyusul hujan lumpur, yakni abu basah yang
melekat
pada daun-daun dan dahan-dahan pohon sehingga kadang-kadang runtuh
karena
beratnya. Sekitar pukul 12 hujan lumpur ini berhenti, tetapi abu kering
tetap turun.

Anehnya, selama itu di Serang tak terdengar letusan-letusan, bahkan
suasana
sangat sepi mencekam, yang membuat banyak orang makin gugup dan
tertekan.
Hewan peliharaan juga makin gelisah, mereka ingin sedekat mungkin
dengan
manusia di dalam rumah, di dekat lampu. Dengan kekerasan sekalipun
hewan-hewan itu tak berhasil diusir. Setelah pukul dua siang langit
mulai
terlihat agak terang di sebelah timur, ayam-ayam jantan mulai berkokok.
Suara gemuruh mulai terdengar lagi, sedang hujan abu turun
terus-menerus dan
bau abu belerang menusuk hidung. Pada pukul empat sore lampu-lampu
masih
dinyalakan.

Surat-surat kabar yang terbit di Batavia tertanggal 28, 31 Agustus, dan
4
September penuh dengan berita-berita tentang malapetaka yang menimpa
daerah
Banten. Tetapi jarang sekali ada kisah dari saksi mata, sebab
tempat-tempat
yang letaknya di tepi pantai seperti Merak, Anyer, dan Caringin, hancur
luluh dan hanya ada beberapa orang Belanda yang melarikan diri dan
tertolong
pada saat yang tepat.

*Ketika Siuman Semua Gelap*
Di Merak seorang pemegang buku pada perusahaan pelabuhan bernama E.
Pechler
merupakan satu-satunya orang Belanda yang lolos. Ia sedang bertugas
membawa
telegram atasannya untuk dikirimkan ke Batavia lewat Serang. Berita ini
mungkin yang terakhir dikirimkan dari Merak. Isinya laporan kepada
Kepala
Jawatan Pelabuhan di Betawi, yang menyebutkan bahwa pada hari Minggu
tanggal
26 Agustus dan keesokan harinya, sebagian Merak yang lebih rendah
letaknya,
Pecinan, jalan kereta api, tergenangi; jembatan berlabuh dan teluk
tempat
pengambilan batu untuk pelabuhan rusak; jembatan dan derek-derek masih
di
tempat saat itu, tetapi gerbong-gerbong sudah masuk laut.

Sekitar pukul sembilan pagi Pechler berada di kaki sebuah bukit di luar
Merak. Tiba-tiba ia ditimpa hujan lumpur dan badai. Ia melihat
gelombang air
mendekat, sehingga ia lari tunggang-langgang ke atas sebuah bukit, tapi
sebelum ia mencapai puncaknya, ia sudah terkejar air pasang. Apa yang
terjadi setelah itu ia tak tahu lagi…

Keesokan harinya ia baru siuman kembali. Tempat sekitarnya sudah
kering,
tetapi ia tak dapat mengenali sekelilingnya karena sangat gelap.

Pada hari Selasa ia baru bisa berjalan kembali ke Merak. Di tengah
jalan ia
melihat sebuah lokomotif yang rusak parah, sekitar 500 m dari tempat
berhentinya. Di Merak ia tidak menemukan apa-apa lagi. Bahkan mayat pun
tak
dijumpainya… semuanya telah dihanyutkan ke laut. Di antara petugas
pemerintah di Merak hanya Pechler dan seorang insinyur bernama
Nieuwenhuis
yang selamat, karena sedang berpergian ke Batavia. Waktu insinyur itu
kembali ke Merak, rumahnya yang dibangun di atas bukit setinggi 14 m
hanya
tinggal lantainya saja.

*Hujan Deras Batu Apung di Teluk Betung*
Anyer dilanda gelombang pasang pada Senin pagi, tanggal 27, sekitar
pukul
sepuluh pagi. Gelombang ini menyapu bersih pemukiman di tepi pantai
itu,
sehingga yang tinggal hanyalah benteng, penjara, kediaman Patih dan
Wedana.
Dataran sekitar Anyer, yang di belakang tempat itu lebarnya kurang
lebih 1
km seakan-akan dicukur gundul; di dekat pantai bongkahan-bongkahan
karang
dilemparkan ke darat.

Caringin yang berpenduduk padat juga hancur luluh; letaknya di dataran
yang
lebarnya sekitar 1.500 m, disusul oleh bukit-bukit 50m, tempat sejumlah
kecil penduduknya menyelamatkan diri.

Bukan hanya di darat, tetapi di laut lepas Krakatau juga meneror
kapal-kapal
yang kebetulan berlayar di dekatnya. Penumpang kapal yang melayari
Selat
Sunda pada hari naas itu tidak dapat melupakan pengalaman dan ketakutan
mereka selama hidupnya.

Kapal api Gouverneur Generaal Loudon, dengan nakhoda Lindeman, sebuah
kapal
Nederland Indische Stoomvaartsmaatschappij (pendahulu KPM) berlayar
dari
Batavia ke Padang dan Aceh dengan menyinggahi Teluk Betung, Krui, dan
Bengkulu. Kapal itu berangkat pada tanggal 26 Agustus pagi hari dari
Jakarta. Seorang penumpang kapal itu mengisahkan pengalamannya sebagai
berikut:

“Cuaca pagi itu sangat cerah. Siang harinya kami berlabuh di Anyer,
sebuah
pelabuhan kecil di pantai Banten. Beberapa orang pekerja kasar naik
dari
pelabuhan ini. Kapal kemudian melanjutkan pelayarannya ke arah Teluk
Lampung, melewati Pulau Sangiang dan Tanjung Tua. Di sebelah kiri kapal
kami
lihat Pulau Rakata dari kejauhan, yang kami singgahi dua bulan yang
lalu.”

“Waktu Gunung Krakatau mulai bekerja bulan Mei yang lalu, setelah dua
abad
beristirahat, perusahaan pemilik kapal Loudon mengadakan suatu tour
pariwisata bagi penduduk Batavia. Dengan membayar dua puluh lima gulden
kita
bisa berlayar ke Pulau Krakatau. Pada waktu itu masih mungkin untuk
mendarat
ke pulau, bahkan mendaki kawahnya yang mengeluarkan uap putih.”

“Sekarang gunung berapi itu nampaknya jauh lebih gawat. Asap hitam
pekat
membubung dari kawahnya ke langit biru dan hujan abu halus turun di
geladak
kapal…”

“Pada pukul 7 petang kami berlabuh di Teluk Betung. Hari amat cepat
menjadi
gelap, sedang lautpun agaknya makin berombak dan hujan abu makin deras.
Kapal Loudon memberi isyarat ke darat agar dikirimi sekoci bagi
penumpang
yang akan mendarat, tetapi tidak ada jawaban apa-apa. Lalu kapten
memerintahkan agar sekoci kapal diturunkan, tetapi gelombang besar tak
memungkinkan untuk mencapai darat, sehingga sekoci itu harus kembali
lagi.”

“Lampu pelabuhan menyala seperti biasa, tetapi tampaknya ada
kejadian-kejadian luar biasa di Teluk Betung. Sekali-sekali terlihat
tanda
bahaya dari kapal-kapal lain dan terdengar suara kentongan
bertalu-talu.
Penerangan kota dipadamkan. Sementara itu hujan abu kini berubah
menjadi
hujan batu apung yang deras…”

*Menara Suar Patah Seperti Batang Korek Api*
“Dengan rasa kurang enak kami melewatkan malam itu. Air laut makin liar
dan
ombak-ombak besar mendera lambung kapal tanpa hentinya. Ketika fajar
menyingsing kami melihat bahwa Teluk Betung menderita kerusakan cukup
parah
oleh gelombang pasang. Kapal api pemerintah Barouw, terlepas dari
jangkarnya
dan dihempaskan ke darat. Gudang-gudang dan gedung-gedung pelabuhan
lain
rusak. Tetapi tak tampak tanda-anda kehidupan di kota kecil itu…”

“Pukul tujuh pagi tiba-tiba kami melihat dinding air melaju ke arah
kapal
kami. Loudon sempat melakukan manouvre untuk menghindar, sehingga
gelombang
itu mengenai sejajar dengan sisi kapal. Kapal itu menukik hebat, tetapi
pada
saat bersamaan gelombang itu telah lewat dan Loudon selamat. Kami
sempat
melihat betapa air pasang itu mendekati, lalu melanda kota Teluk Betung
dengan tenaga tak terbendung…”

“Tak lama kemudian masih ada tiga gelombang dahsyat yang menghambur,
yang di
hadapan mata kami memporak-porandakan segala apa yang ada di pantai.
Kami
melihat bagaimana menara suar patah seperti batang korek api dan
rumah-rumah
lenyap digilas gelombang. Kapal Barouw terangkat, kemudian dicampakkan
ke
darat melewati puncak-puncak pohon nyiur. Yang tadinya Teluk Betung
kini
hanya air belaka…”

“Di kota itu tentunya ada ribuan orang yang meninggal serentak dan
kotanya
sendiri seperti dihapuskan dari muka bumi. Semua itu terjadi dengan
cepat
dan mendadak, sehingga melintas sebelum kita sempat menyadari apa yang
sebenarnya terjadi. Seakan-akan dengan satu gerakan maha kuat dekor
latar
belakang sebuah sandiwara telah digantikan…”

“Akhirnya Kapten Lindeman memutuskan untuk meninggalkan teluk itu,
karena ia
beranggapan bahwa keadaannya cukup berbahaya. Kapal menuju ke Anyer
dengan
tujuan untuk melaporkan malapetaka yang menimpa Teluk Betung. Tak lama
kemudian kapal sudah berlayar di laut lepas. Walaupun hari masih pagi,
cuaca
makin menggelap, dan menjelang pukul sepuluh sudah gelap seperti malam.
Kegelapan itu bertahan selama delapan belas jam dan selama itu turun
hujan
lumpur yang menutupi geladak sampai hampir setengah meter.”

“Di ruang kemudi nakhoda melihat bahwa kompas menunjukkan
gerakan-gerakan
yang paling aneh; di laut terjadi arus-arus kuat, yang selalu berubah
arahnya. Udara dicemari oleh gas belerang pekat yang membuat orang
sulit
bernapas dan beberapa penumpang menderita telinga berdesing. Barometer
menunjukkan tekanan udara yang sangat tinggi. Kemudian bertiuplah angin
kuat
yang berkembang menjadi badai. Kapal diombang-ambingkan oleh getaran
laut
dan gelombang tinggi. Ada saat-saatnya Loudon terancam akan terbalik
oleh
luapan air yang datang dari samping. Apa saja yang tak terikat kuat
dilemparkan ke laut…”

*Api Santo Elmo*
“Tujuh kali berturut-turut halilintar menghantam tiang utama. Dengan
rentetan letupan yang gemeretak, geledek itu kadang-kadang seperti
bergantungan di atas kapal yang diterangi cahaya mengerikan. Alat
pemadam
kebakaran disiapkan di geladak, sebab nakhoda khawatir setiap waktu
Loudon
bisa terbakar.”

“Kecuali halilintar, kami juga menyaksikan gejala alam aneh lain, yakni
apa
yang disebut sebagai api Santo Elmo. Di atas tiang kapal berkali-kali
terlihat nyala api kecil-kecil berwarna biru. Kelasi-kelasi pribumi
mendaki
tiang untuk memadamkan ‘api’ itu, tetapi sebelum mereka sampai ke atas
gejala itu telah lenyap kemudian terlihat berpindah ke tempat lain. Api
biru
yang berpindah-pindah itu sungguh merupakan pemandangan yang
menyeramkan dan
membangunkan bulu kuduk.”

“Antara badai dan ombak besar kami mengalami saat-saat tenang.
Tiba-tiba
saja semuanya menjadi sunyi senyap dan lautpun licin seperti kaca.
Tetapi
sepi yang tak wajar ini lebih mencekam daripada gegap gempita ombak dan
topan yang harus kami alami. Tak terdengar suara lain, kecuali keluh
kesah
dan doa para penumpang Indonesia di geladak depan, yang yakin bahwa
ajal
mereka segera akan sampai.”

“Akhirnya pada malam menjelang tanggal 28 kami melihat sekelumit cahaya
membersit dilangit! Seberkas sinar bulan pucat berhasil menembus awan
gelap.
Ketika itu sekitar pukul empat pagi. Di kapal orang bersorak-sorai
gembira
dengan rasa syukur dan lega.”

“Memang masih ada batu apung dan abu turun ke geladak, tetapi paling
tidak
kami bisa melihat sekelilingnya dengan agak jelas. Kami masih berlayar
menyusuri pantai Sumatra. Nampaknya pantai sangat sunyi. Yang dulunya
ditumbuhi pohon-pohon kini hanya tersisa tunggul bekas batangnya yang
patah.
Laut penuh dengan kayu dan batu apung, yang di pelbagai tempat
mengumpul
menjadi semacam pulau besar yang menutupi jalan masuk ke Teluk
Lampung.”

“Tampang kapal Loudon benar-benar mengejutkan. Ia lebih mirip kapal
yang
tenggelam sepuluh tahun di dasar laut dan baru diangkat kembali. Kami
melayari Selat Sunda dan pagi-pagi sekali Krakatau nampak kembali.
Sekarang
kami baru mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Seluruh pulau itu
meledak
sampai hancur lebur dan sebagian besar hilang. Dinding kawahnya sama
sekali
runtuh, kami hanya melihat celah-celah raksasa yang mengeluarkan asap
dan
uap.”

“Di laut, antara Pulau Sebesi dan Pulau Krakatau yang tadinya masih
merupakan jalur pelayaran, kini bermunculan pulau-pulau vulkanik kecil
dan
berpuluh gosong arang timbul dari permukaan air. Pada delapan tempat
tampak
asap dikelilingi uap putih dari laut.”

“Dengan lambat kami mendekati pantai Jawa. Pemandangan yang terlihat
hampir
tak terperikan. Segalanya telah diratakan menjadi gurun tak bertuan.
Waktu
kami berlabuh di Teluk Anyer, kami baru menyadari bahwa pelabuhan kecil
itu
sudah tidak ada lagi. Semuanya telah tersapu bersih, tiada rumah, tiada
semak, bahkan tak ada batu yang kelihatan! Hanya sebuah tonggak masih
menandai bekas tempat berdirinya mercusuar. Selebihnya tidak ada
apa-apa
lagi, kehampaan dan kesepian…”

“Yang dulunya merupakan kampung-kampung yang makmur, kini hanya
hamparan
lumpur kelabu. Sungai penuh dengan puing dan lumpur. Di mana-mana tak
nampak
tanda-tanda kehidupan…”

“Pulau-pulau di Selat Sunda juga tak luput dari musibah. Pulau Sebesi
yang
pernah dihuni dua ribu orang, kini hanya tinggal seonggok bukit abu,
sampai
puncaknya yang hampir lima ratus meter tingginya itu, dan semua
tumbuh-tumbuhan tak berbekas. Tak terlihat perahu atau desa lagi.
Demikian
pula keadaan pulau-pulau lain, Pulau Sebuku dan Pulau Sangiang.”

*Hujan Lumpur*
“Pada tanggal 29 Agustus kami kembali di Lautan Hindia. Makin ke utara,
makin kurang kelihatan akibat malapetaka besar itu. Kemudian di Padang
dan
beberapa tempat lainnya kami bertemu dengan orang-orang yang mendengar
ledakan-ledakan dan gemuruh Krakatau. Yang aneh ialah bahwa kami yang
berada
di tempat yang paling dekat dengan Krakatau, tidak mendengar
dentuman-dentuman itu…….”

Itulah kisah seorang penumpang kapal yang melihat malapetaka itu dari
jarak
jauh. Dari kota Teluk Betung sendiri ada saksi mata yang selamat.
Menurut
dia gelombang pasang yang pertama tiba tanggal 27 Agustus pagi sekitar
pukul
setengah tujuh, yang merebahkan lampu pelabuhan, gudang batu bara,
gudang di
dermaga, dan melemparkan kapal Barouw dari sisi timur bendungan
melewati
pemecah gelombang sampai ke Kampung Cina. Gudang Garam rusak dan
Kampung
Kangkung beserta beberapa kampung di pantai lainnya dihanyutkan. Kapal
pengangkut garam Marie terguling di teluk, tetapi kemudian dapat tegak
kembali. Orang juga melihat kapal Loudon berlabuh, kemudian berlayar
lagi
pada pukul tujuh.

Langit berwarna kuning kemerah-merahan seperti tembaga, dari arah
Krakatau
terlihat kilatan-kilatan api, hujan abu turun tiada hentinya, tetapi
sekitar
pukul delapan keadaannya tenang. Sementara orang-orang yang sempat
mengungsi
ke tempat yang tinggi waktu itu masih sempat kembali ke rumah
masing-masing
untuk menyelamatkan apa saja yang masih bisa diambil, atau untuk
melihat
keadaan.

Kurang lebih pukul sepuluh tiba-tiba terdengar letusan hebat yang
membuat
orang terpaku. Suatu pancaran cahaya dan kilat terlihat di arah
Krakatau.
Segera setelah letusan itu hari mulai remang-remang. Kerikil batu apung
mulai bertaburan. Menjelang pukul sebelas hari gelap seperti malam,
hujan
abu berubah menjadi hujan lumpur. Selanjutnya apa yang tepatnya
berlangsung,
tiada yang tahu, karena yang selamat berlindung di rumah residen dan
hanya
mendengar deru dan gemuruh sepanjang malam yang disebabkan oleh angin
topan
yang mematahkan ranting, menumbangkan kayu-kayuan, dan melemparkan
lumpur
pada kaca-kaca jendela. Para pelarian itu tidak sadar bahwa gelombang
pasang
sebenarnya sudah mendekati tempat pengungsiannya sejauh 50 m di kaki
bukit.

Baru keesokan harinya orang mengetahui betapa besar kehancuran yang
terjadi.
Seluruh dataran diratakan dengan tanah, tiada rumah maupun pohon yang
masih
tegak. Yang ada hanya abu, lumpur, puing, kapal ringsek, dan mayat
manusia
maupun hewan bertebaran di mana-mana. Kapal Barouw sudah tak terlihat
lagi.
Baru kemudian kapal yang naas itu ditemukan di lembah Sungai Kuripan,
di
belakang belokan lembah pada jarak 3.300 m dari tempat berlabuhnya, dan
2.600 m dari Pecinan, tempatnya dicampakkan gelombang pertama pukul
setengah
tujuh itu. Sejumlah perahu kandas di tepi lembah, sebuah rambu laut
ditemukan di lereng bukit pekuburan. Awak kapal Barouw, mualim pertama
Amt
dan juru mesin Stolk hilang tak ketahuan rimbanya.

Bagian pantai Sumatra yang terjilat malapetaka Krakatau paling parah,
terutama adalah yang letaknya berhadapan dengan Selat Sunda. Misalnya
tempat-tempat di tepi Teluk Semangka.

*Terjepit Dua Rumah*
Seorang Belanda yang mengalami pribadi kedahsyatan letusan Krakatau dan
berhasil mempertahankan hidupnya adalah seorang controleur yang
ditempatkan
di Beneawang, ibukota afdeling Semangka, yang letaknya di Teluk
Semangka,
Lampung. PLC. Le Sueur, pejabat Belanda itu, melaporkan kepada
atasannya
dalam sepucuk surat tertanggal 31 Agustus 1883 sebagai berikut:

“Pada hari Minggu sore, menjelang pukul empat, sewaktu saya sedang
membaca
di serambi belakang rumah saya, tiba-tiba saja terdengar beberapa
dentuman
yang menyerupai letusan meriam. Saya mengira bahwa residen yang menurut
rencana akan tiba besok dengan kapal bersenjata pemerintah telah
mempercepat
jadwal kunjungannya. Saya segera mengumpulkan para kepala adat dan
pejabat
setempat ke pantai. Tetapi kami tidak melihat ada kapal di laut. Saya
segera
kembali ke rumah.”

“Baru saja saya sampai di rumah, seorang pesuruh melaporkan bahwa air
laut
mulai naik dan beberapa kampung di pantai sudah tergenang. Saya segera
berangkat lagi untuk menertibkan keadaan di antara rakyat yang mulai
panik
dan memanggil-manggil nama Allah. Saya menyuruh mereka membawa wanita
dan
anak-anak ke tempat-tempat yang letaknya lebih tinggi. Kemudian air
surut
lagi dengan cepat, tetapi mulai hujan abu.”

“Sekitar pukul empat pagi saya dibangunkan oleh orang-orang yang
memberitakan bahwa di kaki langit terlihat cahaya kemerah-merahan. Saya
merasa khawatir…”

“Pukul enam pagi, hari Senin, saya pergi ke pantai. Permukaan air laut
jauh
lebih rendah dari biasanya. Sementara batu karang yang biasanya tak
nampak,
kini menjadi kering. Selanjutnya saya mendengar guruh
sambung-menyambung,
sehingga saya khawatir masih ada hal-hal yang lebih mengerikan yang
akan
menimpa kami…”

“Setiba di rumah saya menyuruh memanggil Van Zuylen (pembantu saya)
untuk
menulis rancangan surat kepada residen tentang apa yang terjadi. Jam
sudah
menunjukkan pukul tujuh lewat, tetapi cuaca begitu gelap sehingga
lampu-lampu masih menyala. Sejurus kemudian kata Van Zuylen: ‘Maaf
tuan,
untuk sementara saya berhenti menulis saja. Saya merasa gelisah.’”

“Baru saja ia mengatakan itu, tiba-tiba kami mendengar ribut-ribut.
Laki-laki, perempuan, dan anak-anak berlarian sambil berteriak:
‘Banjir!
Banjir!’. Van Zuylen dan saya segera keluar dan menawari orang-orang
itu
agar berlindung di rumah saya saja, karena rumah saya terletak di
tempat
yang agak tinggi dan dibangun di atas tiang. Tetapi tak lama kemudian
air
pasang kembali ke laut sehingga semuanya tenang kembali…”

“Ketenangan itu tak berlangsung lama: Sejurus kemudian air laut kembali
lagi
dengan debur dan gemuruh yang menakutkan. Di rumah saya saat itu sudah
ada
sekitar tiga ratus orang pengungsi. Saya mondar-mandir di antara mereka
untuk agak menenangkan mereka. Tiba-tiba saya mendengar serambi depan
runtuh
dan air segera menerjang ke dalam rumah. Saya menganjurkan mereka untuk
pindah ke serambi belakang. Baru saja saya mengatakan itu, tiba-tiba
seluruh
rumah roboh berantakan dan kami semuanya terseret oleh arus air.”

“Setelah itu saya tak tahu lagi apa yang terjadi. Saya berhasil meraih
sekerat papan dan mengapung mengikuti aliran air, sampai kaki saya
tersangkut sesuatu sehingga papan itu harus saya lepaskan. Setelah itu
saya
berhasil menggapai beberapa keping atap. Saya berpegangan erat-erat
sampai
air kembali ke laut dan kaki saya menginjak tanah. Saya menggunakan jas
saya
untuk melindungi kepala dari hujan lumpur.”

“Di kejauhan saya mendengar suara minta tolong dari laki-laki,
perempuan,
dan anak-anak, tetapi saya tak berdaya menolong. Saya tak bisa berdiri
karena lemas, takut, dan terkejut, lagi pula tak terlihat apa-apa sebab
gelap. Saya mendengar air datang lagi dengan kuatnya. Saya hanya bisa
berdoa
sejenak memohon penyelamatan nyawa kami semua sambil menyiapkan diri
untuk
menghadapi maut. Lalu saya dihanyutkan oleh air, diputarkan, lalu
dicampakkan dengan kekuatan dahsyat. Saya terjepit di antara dua rumah
yang
mengapung. Saya tak bisa bernapas lagi rasanya. Saya mengira bahwa ajal
saya
sudah sampai. Tetapi tiba-tiba kedua rumah itu terpisah lagi. Kemudian
Saya
mendapat batang pisang yang tak saya lepaskan lagi…”

“Dengan batang pisang itu saya mengapung beberapa lama, berapa lama
tepatnya
saya tak tahu lagi. Waktu air surut, saya terduduk saja, barangkali
sejam
lamanya saya di situ tanpa bergerak. Di sekitar saya masih gelap gulita
dan
hujan lumpur berlangsung terus.”

*Kontrolir Berteriak Minta Tolong*
“Akhirnya Saya mendengar suara-suara manusia di dekat tempat itu. Saya
memanggil, bangkit, lalu mulai berjalan tertatih-tatih dengan mata
tertutup
lumpur sambil meraba-raba jalan saya. Semua pakaian saya, kecuali baju
kain
flanel, telah tercabikkan dari badan saya. Saya berjalan dalam keadaan
kedinginan di bawah hujan lumpur, tetapi tidak berhasil menemukan
orang-orang yang saya dengar suaranya itu.”

“Saya menginjak semak-semak berduri dan kulit saya tercabik oleh duri
rotan,
sedang saya lebih banyak jatuh bangun daripada berjalan. Akhirnya saya
mendengar ada orang berkata dalam bahasa Lampung: ‘Kita tak jauh dari
sungai
besar.’ Saya mempercepat jalan saya sedapatnya, menyapu lumpur dari
mata
saya lalu bergegas menuju ke arah suara tadi. Saya bertemu seorang
Jawa,
seorang Palembang, dan beberapa wanita Jawa.”

“Tak lama kemudian kami melihat cahaya obor dari jauh. Tanpa berhenti
saya
berteriak: ‘Tolong! Tolong! Saya kontrolir!’ Tetapi agaknya pembawa
obor itu
tak mendengar suara saya. Beberapa kali kami melihat cahaya itu, tapi
kemudian menghilang di dalam kegelapan. Ketika itu semestinya sudah
pukul
delapan atau sembilan pagi, tetapi masih gelap gulita…”

“Akhirnya ada juga seorang pembawa obor yang datang mendapatkan kami.
Saya
katakan kepadanya siapa saya, lalu ia mengantarkan saya melewati hutan
semak
berduri dan mengarungi lumpur ke Kampung Kasugihan, kemudian diteruskan
ke
Penanggungan. Hari sudah pukul delapan malam waktu kami tiba di sana.
Di
kampung ini saya baru beristirahat sejam ketika kami mendengar gemuruh
air,
sehingga tempat ini juga masih belum aman. Kami melarikan diri lagi ke
arah
pegunungan. Setelah dua jam berjalan kami mencapai desa Payung yang
terletak
di lereng Gunung Tanggamus. Di tempat ini ada yang memberi saya sehelai
sarung, sehingga saya berpakaian agak pantas.”

“Mujur bahwa saya mendapat sambutan baik dari kepala desa maupun
rakyatnya,
sehingga setiap hari saya bisa makan nasi dengan lauk ayam. Pada hari
Selasa
saya menyuruh orang untuk menyelidiki siapa-siapa yang masih hidup dari
tempat-tempat di pantai. Hasilnya amat menyedihkan. Hampir seluruh
Beneawang
musnah. Saya perkirakan korban jiwa di daerah ini ada sekitar seribu
orang.
Banyak kampung lenyap. Di banyak desa terjadi kelaparan.”

“Mohon dikirim beberapa potong pakaian, sebab saya tak mempunyai
apa-apa
lagi, juga sepatu dan selop.”

*Hujan Batu Apung Membara dan Abu Panas*
Menurut laporan resmi, di Beneawang sekitar 250 orang meninggal,
termasuk
hampir semua pemuka adat daerah itu yang berkumpul untuk menyambut
kedatangan Residen. Termasuk Van Zulyen, klerk griffier pembantu Le
Sueur,
satu-satunya orang Belanda yang tewas. Kampung-kampung di sebelah barat
dan
timur Teluk Semangka mengalami penghancuran total atau sebagian; di
Tanjungan dan di Tanjung Beringin yang terletak di dekatnya, 327 orang
dinyatakan hilang, di Betung yang berdekatan, 244 orang.

Dari Ketimbang di pantai Teluk Lampung kita ikuti kisah kontrolir
Beyerink
yang lebih mengenaskan, karena ia pribadi kehilangan seorang anggota
keluarganya dalam malapetaka itu.

“Pada Minggu sore, tanggal 26 Agustus itu distrik kami ditimpa hujan
abu dan
batu apung yang membara. Rakyat melarikan diri dalam suasana panik. Abu
yang
jatuh itu begitu panasnya, sehingga hampir semua orang menderita luka
bakar
pada muka, tangan, dan kaki. Di antara penduduk yang berjumlah kurang
lebih
tiga ribu orang yang mengungsi bersama saya ke daerah yang lebih
tinggi,
paling sedikit ada seribu orang yang meninggal karena luka bakar.
Seorang di
antara anak saya juga ikut meninggal. Kami terpaksa memakamkannya dalam
abu.”

Antar pukul sembilan dan sepuluh malam air mulai menggenangi rumah
kontrolir. Ini merupakan dorongan kuat bagi Beyerink untuk mengajak
keluarganya yang terdiri atas istrinya dan kedua anaknya yang masih
kecil
memgungsi ke Kampung Umbul Balak di lereng Gunung Rajabasa.
Semalam-malaman
turun hujan kerikil dan abu, hari Minggunya sampai pukul sebelas hujan
deras, paginya antara pukul sembilan dan sepuluh jatuh
kepingan-kepingan
batu apung, ada yang sebesar kepala. Ledakan-ledakan sudah terdengar
terus-menerus sejak hari Minggu dan sejak hari Senin tercium bau
belerang.
Gelegar letusan terhebat terdengar sekitar pukul sepuluh, disusul
segera
oleh kegelapan total. Tak lama kemudian mulai turun abu panas, yang
rasanya
sangat nyeri saat mengenai kulit. Ini berlangsung kira-kira seperempat
jam,
mungkin lebih lama, disertai uap belerang yang menyesakkan napas.

Sesudah itu turun hujan lumpur, yang melekat pada tubuh seperti lem,
tetapi
lebih mending daripada abu panas yang mengakibatkan luka-luka bakar.
Lumpur
dan abu silih berganti berjatuhan semalam suntuk, mungkin juga sampai
Selasa
pagi.

Selama lima hari Beyerink dengan keluarganya menderita di bawah tempat
berteduh yang sederhana, dikelilingi sejumlah besar rakyat yang ikut
melarikan diri ke tempat itu. Mereka semuanya sangat menderita,
terutama
oleh luka-luka bakar yang tak diobati. Anak terkecil keluarga Beyerink
akhirnya meninggal karena luka-lukanya dan keadaan yang menyedihkan
itu.

Akhirnya mereka dibebaskan oleh kapal bargas Kedirie yang pada Sabtu
pagi,
tanggal 31 Agustus membuang sauh di Teluk Kalianda. Nakhoda kapal
beserta
beberapa anak buahnya melakukan peninjauan ke darat. Mereka mendengar
bahwa
kontrolir dan keluarganya mengungsi di Umbul Balak. Mereka bergegas
menjemputnya. Dengan bantuan tandu keluarga yang malang itu akhirnya
dapat
dibawa ke pantai dan hari itu juga Kedirie bertolak ke Jakarta.

*Tersangkut Di Pohon*
Kapal bargas Kedirie menyelamatkan sejumlah korban, di antaranya
seorang
kakek yang berumur sekitar enam puluh tahun, bernama Kimas Gemilang,
yang
kemudian dirawat di rumah sakit umum di Jakarta. Dalam sebuah wawancara
dengan harian berbahasa Belanda ia mengisahkan pengalamannya sebagai
berikut:

“Pada hari Senin pagi, sekitar pukul enam, saya menuju ke pantai, tak
jauh
dari rumah saya di Ketimbang. Saya melihat permukaan air laut sangat
tinggi,
jauh lebih tinggi daripada sehari-hari, tetapi saya tidak melihat
gelombang
atau hal lain yang mencurigakan. Sekitar sepuluh menit kemudian, saya
melihat air menggulung dari kejauhan, warnanya hitam dan tingginya
menyerupai gunung. Saya hendak melarikan diri, tetapi sudah tak keburu
sebab
air telah mencapai saya, sehingga saya terseret.

Mujurnya, saya tersangkut pada batang pohon besar. Saya memanjat pohon
itu
sampai ke puncaknya. Tak lama sesudah itu air menghilang sama cepatnya
seperti tibanya tadi. Setelah lewat lima menit gelombang pasang itu
datang
kembali. Saya tetap bertengger di pohon, tak berani turun. Sesudah
lewat
sekitar satu jam air pasang tak kembali lagi, barulah saya
perlahan-lahan
merosot ke bawah. Tetapi saya tak mampu berjalan karena cedera akibat
hempasan gelombang tadi. Jadi saya duduk dan rebah di bawah pohon
penyelamat
itu beberapa hari dan beberapa malam dalam keadaan antara sadar dan
tidak,
seperti terbius, tanpa mengetahui apa yang terjadi di sekeliling saya.

Tentu saja selama beberapa hari itu saya tidak makan dan minum sampai
suatu
pagi, saya sudah tak tahu lagi hari apa, ada seorang Cina menghampiri
saya,
lalu mengangkat saya ke perahunya. Di tengah laut kami ditolong oleh
sebuah
kapal api yang membawa saya kemari.”

Demikianlah kisah beberapa saksi mata yang mengalami secara pribadi
malapetaka Krakatau itu. Para pengamat waktu itu setelah mengumpulkan
data
yang diperoleh, menyimpulkan bahwa letusan Krakatau bulan Agustus 1883
itu
tidak disertai atau didahului oleh gempa kuat. Di beberapa tempat
memang
terasa guncangan ringan.

*Bulan dan Matahari Berwarna-Warni*
Yang meminta korban jiwa maupun kerusakan paling berat adalah air
pasang
yang melanda pantai-pantai yang berbatasan dengan Selat Sunda dan utara
Pulau Jawa. Hanya sebagian kecil korban diakibatkan oleh abu panas,
sedang
awan panas dan gas beracun tak tercatat. Dari laporan-laporan ternyata
bahwa
gelombang pasang itu terjadi tiga kali, yang pertama pada hari Minggu
pukul
18.000, pada hari Senin sekitar pukul 06.30, dan pukul 10.30. Gelombang
yang
terakhir adalah yang terbesar, yang menyebabkan kerusakan paling
banyak.
Penghancuran Teluk Betung dan Caringin terutama diakibatkan oleh
gelombang
yang terakhir itu.

Setelah aktif selama 121 hari sejak bulan Mei dan puncak ledakan
tanggal 28
Agustus itu akhirnya semuanya menjadi tenang kembali. Krakatau lenyap
seperti ditelan bumi; hampir seluruh belahan utara pulau itu hilang.
Yang
tinggal hanya bebatuan sepanjang 813 meter. Gunung berapi Danan dan
Perbuatan juga gaib, dan di tempat itu terbentuk kaldera raksasa yang
berdiameter 7,4 km.

Abu halus yang dilontarkan ke angkasa ditiup ke arah barat oleh angin
dan
keliling dunia dengan kecepatan 121 km tiap jamnya. Setelah enam
minggu,
dalam bulan Oktober 1883 suatu sabuk debu dan abu halus menyebar
sekitar
bumi. Hanya dua hari setelah letusan abu halus itu sudah meliputi benua
Afrika dan lima belas hari kemudian telah mengitari bumi, mengkibatkan
suatu
kabut di seluruh daerah khatulistiwa yang menyebar sedikit demi
sedikit.
Pada tanggal 30 Nopember kabut itu mencapai Eslandia. Kabut itu
menyebabkan
pelbagai dampak optik, termasuk senja kala yang gilang-gemilang,
matahari
dan bulan berwarna, dan munculnya corona. Di banyak tempat di dunia
terlihat
matahari atau bulan berwarna merah jambu, hijau, biru. Enam bulan
setelah
letusan Krakatau, penduduk Missouri di Amerika Serikat melihat matahari
kuning dengan latar belakang langit hijau.

Sebuah majalah populer Belanda memberi judul karangan tentang letusan
Krakatau “Lebih hebat dari bom atom.” Ledakan bom atom bukan apa-apa
dibandingkan dengan letusan Krakatau. Bom atom pertama yang diledakkan
sebagai percobaan di dekat Los Alamos pada tanggal 16 Juni 1945
memancarkan
energi sebesar 0,019 Megaton, sedangkan ledakan Krakatau diperkirakan
sebesar 410 megaton!

Kekuatan letusan itu setara dengan 21.428 bom atom. Sedangkan korban
jiwa
yang direnggutnya oleh gelombang pasang merupakan yang tertinggi yang
pernah
tercatat sampai hari ini. Ini belum terhitung korban tidak langsung
yang
meninggal oleh penyakit dan kelaparan yang terjadi kemudian.***

PostHeaderIcon 10 Hal yang tidak bisa dibeli dengan Uang

10 Hal yang tidak bisa dibeli dengan Uang

Kita sering membicarakan tentang uang; bagaimana mendapatkan banyak uang, bagaimana mengatur pengeluaran, berapa yang ditabung, serta diinvestasikan di mana. Kita sibuk merencanakan, memikirkan, dan mengkhawatirkan uang yang kita miliki, sehingga seolah-olah uang adalah hal yang paling penting di dunia.

Uang memang penting dalam kehidupan, tanpa alat tukar ini kita tak akan bisa memenuhi kebutuhan hidup. Uang membuat kita bisa melakukan banyak hal dibandingkan jika kita tak memilikinya. Tetapi sepenting-pentingnya uang, sebanyak apa pun pundi-pundi uang Anda, ada hal-hal yang tak bisa dibeli olehnya.

Kehilangan waktu
Uang tak akan mengembalikan waktu yang telah berlalu. Setelah hari berganti, waktu 24 jam tersebut akan hilang dan tak akan pernah kembali. Karena itu gunakan setiap kesempatan yang ada untuk menyatakan perhatian dan kasih sayang Anda pada orang tercinta, sebelum waktu itu berlalu.

Kebahagiaan
Memang kedengarannya klise, uang tak bisa membeli kebahagiaan. Tapi inilah kenyataannya. Uang memang bisa membuat Anda merasa senang karena bisa membiayai liburan, membeli elektronik terkini, atau mobil paling cepat. Tapi setumpuk uang tak kan pernah bisa menghadirkan kebahagiaan yang nyata yang berasal dari dalam hati kita. Kebahagiaan jenis ini hanya datang dari hubungan yang membahagiakan serta dukungan dan cinta dari keluarga.

Kebahagiaan Anak
Untuk memberikan sandang dan pangan yang layak kepada buah hati memang dibutuhkan uang. Tapi uang tak bisa memberikan rasa aman, tanggung jawab, sikap yang baik, serta kepandaian, pada anak-anak. Hal itu merupakan buah dari waktu dan perhatian yang Anda curahkan untuk mereka dan hal-hal baik yang Anda ajarkan. Uang memang membantu kita memenuhi beberapa aspek pengasuhan, tapi waktu telah membuktikan bahwa kebutuhan dasar tiap anak adalah berapa banyak waktu yang diberikan orangtuanya, bukan uangnya.

Cinta
Ini satu hal klise lainnya, cinta tak bisa dibeli dengan uang, tapi akuilah hal itu benar. Dengan uang kita bisa membuat orang tertarik, tapi cinta berasal dari rasa saling menghargai, perhatian, berbagi pengalaman, dan kesempatan untuk berkembang bersama. Itu sebabnya banyak pasangan yang menikah karena uang, tak bertahan lama.

Penerimaan
Untuk diterima oleh lingkungan pergaulan, Anda tak butuh uang. Bila Anda ingin diterima, fokuskan energi Anda untuk membuat diri Anda berharga bagi lingkungan sekitar dengan menjadi teman dalam suka dan duka.

Kesehatan
Kita butuh uang untuk mengongkosi biaya perawatan dan membeli obat, tapi uang tak bisa menggantikan kesehatan yang hilang. Itu sebabnya pepatah lebih baik mencegah daripada mengobati sebaiknya kita terapkan. Mulailah berolahraga, berhenti merokok, dan banyak hal lain yang pasti sudah Anda tahu.

Kesuksesan
Beberapa orang memang ada yang mencapai kesuksesan dengan menyuap, tapi ini adalah pengecualian. Kesuksesan hanya berasal dari kerja keras, kemauan, dan sedikit kemujuran. Ada aspek kecil dari usaha menuju sukses yang bisa didapatkan dengan uang, misalnya mengikuti pelatihan atau membeli peralatan, tapi sukses lebih banyak berasal dari usaha yang Anda lakukan sendiri.

Bakat
Kita dilahirkan dengan bakat tertentu. Dengan uang, yang bisa kita lakukan adalah mengasah bakat tersebut, misalnya belajar musik. Namun para ahli mengatakan, untuk menjadi ahli di bidangnya, kita membutuhkan bakat.

Sikap yang baik
Banyak orang yang kaya raya tapi sikapnya kasar dan ucapannya sinis. Tak sedikit orang sederhana yang tutur katanya sopan dan menunjukkan rasa hormat pada orang lain. Jadi, jumlah uang yang dimiliki bukan penentu sikap atau manner seseorang.

Kedamaian
Bila uang bisa membeli kedamaian, barangkali kita tak lagi mendengar tentang perang. Justru yang sering terjadi sebaliknya, uang lah yang menjadi sumber pertikaian dan permusuhan.

Februari 10, 2009

PostHeaderIcon BADAI MATAHARI

BADAI MATAHARI

COLORADO - Aktivitas cahaya matahari, yang berpotensi badai, disinyalir dapat mengakibatkan hilangnya sinyal pada ponsel, perangkat penunjuk arah (GPS) atau perangkat elektronik lainnya. ?

Badai matahari atau solar storm dapat menimbulkan ledakan energi yang cukup dahsyat ke arah bumi. Ledakan inilah yang kemudian akan mengganggu jalannya sistem sinyal elektronik yang sensitif, khususnya ponsel dan GPS. Para ahli menyatakan bahwa aktivitas semburan badai matahari (solar storm) ini terus meningkat setiap periodenya dan puncaknya akan terjadi pada tahun 2011 atau 2012.

Solar storm adalah fenomena alam yang terjadi pada matahari ketika terlemparnya proton dan elektron akibat aktifitas magnetik matahari yang biasanya terjadi 11 tahun sekali. Akibat aktifitas magnetik tersebut, gelombang magnetik yang mengarah ke bumi menghalangi sinyal-sinyal komunikasi. Oleh karena itu seluruh alat komunikasi yang menggunakan sinyal elektromagnetik tidak bisa berfungsi dengan baik.

Bahkan Fenomena ini juga sangat berpengaruh pada pembangkit listrik jika terus dinyalakan pada saat badai berlangsung karena medan magnet bumi yang tidak stabil. Jika pembangkit listrik tersebut rusak maka dibutuhkan waktu sekira 2 tahun untuk membangunnya kembali. Hal ini memaksa masyarakat untuk kembali hidup tanpa listrik hingga pembangkit listrik baru selesai dibangun. Menurut wikipedia, hal ini pernah terjadi di Quebec pada 13 maret 1989 dimana 6 juta orang hidup tanpa listrik selama 9 jam. Padahal puncak ledakan solar storm jika mengenai bumi bisa mencapai lebih dari 2 hari.

"Solar storm ini akan mempengaruhi beberapa menara di beberapa wilayah. Dan menara telekomunikasi merupakan sasaran empuk dari aktivitas solar storm ini," ujar Dale Gary, ilmuwan yang juga petinggi di Institut New Jersey bagian Fisika, seperti dikutip melalui ABC News, Senin (14/1/2007).

Menurut penelitiannya, solar storm berpotensi mengganggu 7 persen sambungan telekomunikasi. Bahkan solar storm dengan energi yang lebih kuat dapat menimbulkan kerusakan yang cukup parah. Apalagi terhadap perangkat GPS. Kabarnya solar storm juga berpotensi merusak sinyal satelit yang biasa digunakan untuk membantu pencarian lokasi karena GPS receiver tidak akan mampu mencari sinyal satelit yang terhalang oleh radiasi solar storm. Efek solar storm ini dikabarkan akan berlangsung hingga berhari-hari. (srn)

PostHeaderIcon 10 Mobil tercepat di dunia untuk tahun 2008-2009

10 Mobil tercepat di dunia untuk tahun 2008-2009

Lagi nyari mobil yang bisa diajak "terbang" alias cepat banget?? Ini dia daftar 10 mobil tercepat di dunia saat ini untuk tahun 2008-2009.

Di dalam daftar ini juga sudah ada harganya, jadi kalau yang mau beli, sudah bisa mengira-ngira, uangnya cukup atau engga. 

Jangan lupa dari harga itu dikalikan 2 atau 3 karena untuk masuk ke Indonesia harus bayar pajaknya loh!!!

Berikut 10 daftar mobil tercepat di dunia berdasarkan urutan yang tercepat:

1. SSC Ultimate Aero: 257 mph (414 km/ jam), 0-100 dalam 2.7 detik. Twin-Turbo V8 Engine (1.183 hp), Harga: US$ 654,400

2. Bugatti Veyron: 253 mph (407 km/ jam), 0-100 dalam 2.5 detik. Aluminum, Narrow Angle W16 Engine (1.001 hp), Harga: US$ 1,444,000.

3. Koenigsegg CCX: 250 mph (402 km/ jam), 0-100 dalam 3.2 detik. 90 Degree V8 Engine (806 hp), Harga:  US$ 695,000.

4. Saleen S7 Twin-Turbo: 248 mph (399 km/ jam), 0-100 dalam 3.2 detik.  Twin Turbo All Aluminum V8 Engine (750 hp), Harga: US$ 555,000.

5. McLaren F1: 240 mph (386 km/ jam), 0-100 dalam 3.2 detik. BMW S70/2 60 Degree V12 Engine (627 hp), Harga: US$ 970,000.

6. Ferrari Enzo: 217 mph (349 km/ jam), 0-100 dalam 3.4 detik. F140 Aluminum V12 Engine (660 hp), Harga: US$ 670,000.

7. Jaguar XJ220: 217 mph (349 km/ jam), 0-100 dalam 4.0 detik. Twin Turbo V6 Engine (542 hp), Harga: US$ 345,000.

8. Pagani Zonda F: 215 mph (346 km/ jam), 0-100 dalm 3.5 detik. Mercedes Benz M180 V12 Engine (650 hp). Harga: US$ 741,000.

9. Lamborghini Murcielago LP640: 213 mph (343 km/ jam), 0-100 dalam 3.3 detik. V12 Engine (640 hp). Harga: US$ 430,000.

10. Porsche Carrera GT: 209 mph (336 km/ jam), 0-100 dalam 3.9 detik. Aluminum, 68 Degree, Water Cooled V10 Engine (612 hp). Harga: US$ 440,000.

PostHeaderIcon KIAMAT 2012 ?(ANTARA RAMALAN DAN SCIENCE)

Kiamat 2012?(antara ramalan dan fakta science)

Di internet saat ini tengah dibanjiri tulisan yang membahas prediksi suku Maya yang pernah hidup di selatan Meksiko atau Guatemala tentang kiamat yang bakal terjadi pada 21 Desember 2012.

Pada manuskrip peninggalan suku yang dikenal menguasai ilmu falak dan sistem penanggalan ini, disebutkan pada tanggal di atas akan muncul gelombang galaksi yang besar sehingga mengakibatkan terhentinya semua kegiatan di muka Bumi ini.

Di luar ramalan suku Maya yang belum diketahui dasar perhitungannya, menurut Deputi Bidang Sains Pengkajian dan Informasi Kedirgantaraan, Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan), Bambang S Tedjasukmana, fenomena yang dapat diprakirakan kemunculannya pada sekitar tahun 2011-2012 adalah badai Matahari. Prediksi ini berdasarkan pemantauan pusat pemantau cuaca antariksa di beberapa negara sejak tahun 1960-an dan di Indonesia oleh Lapan sejak tahun 1975.

Dijelaskan, Sri Kaloka, Kepala Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan, badai Matahari terjadi ketika muncul flare dan Coronal Mass Ejection (CME). Flare adalah ledakan besar di atmosfer Matahari yang dayanya setara dengan 66 juta kali ledakan bom atom Hiroshima. Adapun CME merupakan ledakan sangat besar yang menyebabkan lontaran partikel berkecepatan 400 kilometer per detik.

Gangguan cuaca Matahari ini dapat memengaruhi kondisi muatan antariksa hingga memengaruhi magnet Bumi, selanjutnya berdampak pada sistem kelistrikan, transportasi yang mengandalkan satelit navigasi global positioning system (GPS) dan sistem komunikasi yang menggunakan satelit komunikasi dan gelombang frekuensi tinggi (HF), serta dapat membahayakan kehidupan atau kesehatan manusia. ”Karena gangguan magnet Bumi, pengguna alat pacu jantung dapat mengalami gangguan yang berarti,” ujar Sri.

Langkah antisipatif 

Dari Matahari, miliaran partikel elektron sampai ke lapisan ionosfer Bumi dalam waktu empat hari, jelas Jiyo Harjosuwito, Kepala Kelompok Peneliti Ionosfer dan Propagasi Gelombang Radio. Dampak dari serbuan partikel elektron itu di kutub magnet Bumi berlangsung selama beberapa hari. Selama waktu itu dapat dilakukan langkah antisipatif untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan.

Mengantisipasi munculnya badai antariksa itu, lanjut Bambang, Lapan tengah membangun pusat sistem pemantau cuaca antariksa terpadu di Pusat Pemanfaatan Sains Antariksa Lapan Bandung. Obyek yang dipantau antara lain lapisan ionosfer dan geomagnetik, serta gelombang radio. Sistem ini akan beroperasi penuh pada Januari 2009 mendatang.

Langkah antisipatif yang telah dilakukan Lapan adalah menghubungi pihak-pihak yang mungkin akan terkena dampak dari munculnya badai antariksa, yaitu Dephankam, TNI, Dephub, PLN, dan Depkominfo, serta pemerintah daerah. Saat ini pelatihan bagi aparat pemda yang mengoperasikan radio HF telah dilakukan sejak lama, kini telah ada sekitar 500 orang yang terlatih menghadapi gangguan sinyal radio.

Bambang mengimbau PLN agar melakukan langkah antisipatif dengan melakukan pemadaman sistem kelistrikan agar tidak terjadi dampak yang lebih buruk. Untuk itu, sosialisasi harus dilakukan pada masyarakat bila langkah itu akan diambil.

Selain itu, penerbangan dan pelayaran yang mengandalkan satelit GPS sebagai sistem navigasi hendaknya menggunakan sistem manual ketika badai antariksa terjadi, dalam memandu tinggal landas atau pendaratan pesawat terbang.

Perubahan densitas elektron akibat cuaca antariksa, jelas peneliti dari PPSA Lapan, Effendi, dapat mengubah kecepatan gelombang radio ketika melewati ionosfer sehingga menimbulkan delai propagasi pada sinyal GPS.

Perubahan ini mengakibatkan penyimpangan pada penentuan

jarak dan posisi. Selain itu, komponen mikroelektronika pada satelit navigasi dan komunikasi akan mengalami kerusakan sehingga mengalami percepatan masa pakai, sehingga bisa tak berfungsi lagi.

Saat ini Lapan telah mengembangkan pemodelan perencanaan penggunaan frekuensi untuk menghadapi gangguan tersebut untuk komunikasi radio HF. ”Saat ini tengah dipersiapkan pemodelan yang sama untuk bidang navigasi,” tutur Bambang. (yuni ikawati/kcm)